Nasehat kepada orang lain dan Mengenali diri sendiri

Saya sering buka-buka status di Medsos, status-status antara yang satu dengan yang lain saling menanggapi atau saling merespon, meskipun tidak secara langsung memberi komentar di akunnya. Tapi memberi tanggapan dengan status di akunnya sendiri. Terlebih yang berhubungan dengan agama, khususnya ibadah.

Seorang teman Facebook, karena hobinya selfie, maka ke mana ia pergi , ia selalu berfoto-foto untuk di-upload di Medsos. Termasuk ketika ia ke tempat ibadah, selfie di majelis ta'lim, selfie ketika umrah, ada juga yang selfie ketika naik haji, selfie ketika di masjid, dll. Biasanya teman yang kenal dekat akan memberi tanggapan komentar yang positif, atau sekedar apresiasi. Seperti kata-kata: "Pantesan ngga pernah kelihatan, ternyata lagi umroh", "Alhamdulillah ya akhirnya terkabul bisa naik haji", atau ada yang bertanya: 'Itu ngajinya di mana?" Tapi bagi sebagian teman lain, yang bersikap kritis sering memberi tanggapan secara tak langsung, yaitu menanggapi dengan membuat status di akunnya sendiri. Supaya tidak terlalu mencolok sebagai tanggapan untuk statusnya (menjaga jarak). Umumnya tanggapan bersifat nasehat atau bisa juga kritikan. Seperti kata-kata: "Ibadah itu urusan pribadi dengan Allah, yang tidak perlu diperlihatkan kepada orang lain", "Jangan sampai pahala ibadah hangus karena status", Jangan sampai ibadah tidak diterima karena riya' atau pamer.

Sebenarnya jika kita menyikapi tentang 'niat' orang bikin status tema 'ibadah' atau orang yang memberi tanggapan, tidak bisa dinilai secara hitam putih. Karena masalah 'niat' adalah masalah hati, yang tidak bisa dinilai orang. Seorang ustad menasehati, apa pun yang dilakukan orang lain, ambil sisi baiknya, jangan dinilai selalu dengan keburukan, jika itu tidak merugikan orang lain. Tidak lain dan tidak bukan untuk menyelamatkan 'hati' kita sendiri dari prasangka.

Justru yang ditekankan dan diperhatikan adalah 'menilai diri sendiri' ketika menanggapi orang lain. Ketika ada orang lain yang berfoto selfie di tempat-tempat ibadah, ya biarkan saja ngga usah berpikir yang macem-macem. Ngga terburu-buru menilai. Ngga usah berprasangka bahwa ia pamer, riya', ujub' dll. Justru yang berbahaya ketika kita berprasangka buruk kepada orang lain. Boleh jadi kita ingin menasehati orang lain, agar hati-hati dengan status-status yg 'terkesan' pamer amal ibadah. Itu memang kewajiban sesama muslim. Itu perbuatan yang mulia. Tapi menasehati orang lain tidak semudah mengeluarkan kata-kata nasehat itu sendiri. Menasehati orang lain harus mengenali diri sendiri, apakah nasehat kita jujur karena kepedulian kita. Jangan sampai menasehati orang lain berangkat dari prasangka kita. Nasehat hanya sebagai 'kemasan' di balik prasangka buruk kita kepada orang? Jika memang seperti itu, artinya kita belum mengenal diri kita, kita yang perlu menasehati diri sendiri.

Bukan masalah diterima atau tidak terima nasehat. Mungkin lebih realistis kalo kita mengajak orang untuk berbuat baik. Tanpa prasangka tapi kita bisa menunjukkan kepedulian. Mengajak orang sholat berjamaah, mengajak orang ngaji, datang ke majelis ta'lim, mengajak beramal. Sesuatu yang dapat kita pahami, karena tidak bicara tentang penyakit hati yang tak terlihat.

Ingat dengan nasehat ustad tersebut untuk tetap berusaha berprasangka baik, ambil sisi baiknya saja. Dengan selfie-selfie seperti itu, mudah-mudahan memberi semangat orang lain untuk melakukan hal yang sama (beribadah). Ketika ada yang selfie ibadah umroh atau haji, kita berprasangka baik, siapa tahu di sana ia juga mendoakan kita. Dari foto-foto tersebut juga ada nilai 'syiar' nya, bukan sekedar foto bermain, atau hiburan. Tapi semua tergantung bagaimana kita menilai. Itulah diri kita.

Dalam syariat agama, setiap ibadah sudah diatur sedemikian rupa, tentang waktunya, tentang adabnya, tentang tata caranya, dll. Termasuk ada ibadah yang dilakukan secara dhahir (tampak, bisa disaksikan orang lain); seperti sholat berjamaah, doa berjamaah, membangun tempat ibadah, dll. Ada ibadah dilakukan secara tersembunyi (tidak bisa disaksikan orang lain) seperti puasa, sholat sunnah, berdzikir, dll. Setiap ibadah yang tampak atau tersembunyi, sama-sama punya potensi niat ikhlas atau tidak. Meskipun sholat berjamaah disaksikan orang lain, tapi ia bisa dilakukan dengan niat ikhlas tergantung yang melaksanakan. Meskipun ibadah puasa tidak disaksikan orang lain. tapi ia bisa berpotensi adanya niat yang tidak ikhlas karena ada sifat 'ujub' mengagumi ibadahnya sendiri. Mengagumi diri sendiri bisa bangun malam, bisa tahajud, yang lain asyik tidur.

Ibadah tampak atau tersembunyi toh keduanya juga harus hati-hati dengan niatnya. Ibadah tidak bisa dinilai sebagai privasi atau disosialisasi. Bisa kedua-duanya. Karena selain hubungan khusus dengan Allah, juga harus ada 'syiar' kepada saudara, teman-teman, atau orang lain. Cara tergantung kesanggupan masing-masing. Meskipun sederhana dan mudah, boleh jadi karena pemahaman agama yang belum cukup, dengan foto-foto atau kata-kata pengalaman ibadah seseorang boleh jadi bisa motivasi bagi orang lain. Bisa menjadi ladang amal, menambah pahala. Sepele bagi kita, boleh jadi nilainya besar bagi Allah.

Ketika ada orang yang ingin beramal shodaqoh, mana yang lebih baik? Ditampakkan (disaksikan) kepada orang lain atau sembunyi-sembunyi? Jawabannya lagi-lagi tergantung 'nawaitu' dari orang yang bershodaqoh. Masing-masing ada sisi baik dan buruknya. Shodaqoh yang ditampakkan punya sisi buruk (penyakit hati) jadi riya' (pamer), takabur (sombong), ujub (membanggakan diri), sum'ah (ingin didengar, ingin dipuji), dll. Tapi juga ada sisi baiknya, bisa menjadi cara syiar supaya orang lain terpanggil untuk melakukan amal juga. Dan itu secara tidak langsung bisa menjadi tambahan pahala bagi yang mencontohkannya. Begitu juga amal shodaqoh yang disembunyikan. Sisi buruknya, ia masih berpotensi 'ujub, mengagumi ibadahnya, seolah paling ikhlas. Ia tidak bisa mensyiarkan praktek secara langsung supaya orang lain ikut bershodaqoh. Perbuatan baik hanya untuk diri sendiri. Sisi baiknya, ia berusaha menghindar dari sifat riya', takabur dan sum'ah.
Boleh jadi seseorang masuk neraka karena shodaqoh yang ditampakkan. Boleh jadi seseorang masuk surga juga karena shodaqoh yang ditampakkan. Atau sebaliknya.

Akhirnya semua prasangka akan kembali kepada kita sendiri. Hati-hati dengan Hati. Kenali diri sendiri.

Wallahu a'lam.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Bahasa Jawa Dialek Magelangan

Dikontrakan, Di kontrakkan atau Dikontrakkan?

Mengajar di LPK